Langsung ke konten utama

Kisah Tenggelamnya Batavia dan Penemuan Benua Baru yang Tidak disadari.

Pada 28 Oktober 1628, sebuah kapal bernama Batavia berlayar dari Texel, Belanda dengan tujuan Batavia, di Jawa. Tidak ada orang yang menduga jika kapal ini dan para penumpangnya dalam beberapa bulan ke depan akan mengalami takdir buruk yang tidak pernah mereka bayangkan dimana 220 orang mati. Perjalanan ini juga mengantarkan mereka menemukan sebuah benua baru bagi orang Eropa, tapi mereka tidak sadar.



Belanda adalah sebuah bangsa maritim yang maju di Eropa sejak zaman dahulu. Mereka meraih kemerdekaan penuh atas penjajahan Spanyol pada tahun 1568. Setelah itu terjadi perang saudara berkepanjangan selama 80 tahun. Dalam masa yang sulit tersebut, pada tanggal 20 Maret 1602, didirikanlah sebuah Perusahaan Hindia Timur Bersatu atau yang dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang merupakan megakorporasi perusahaan-perusahaan Belanda yang saling bersaing, dimana perusahaan ini berhasil mendirikan sebuah kantor pusat perdagangan di Jayakarta yang kemudian dirubah menjadi Batavia setelah berhasil mengusir kekuatan Kesultanan Banten pada 30 Mei 1619.

Hampir sepuluh tahun setelah mendirikan Batavia di Jawa, VOC membangun sebuah kapal tipe East Indieman, yakni kapal dagang yang mampu menampung kargo yang sangat banyak dengan dilengkapi persenjataan serta 32 meriam ganda di sepanjang deknya untuk perlindungan, yang diberi nama Batavia. Batavia adalah bahasa kuno untuk menyebut sebuah wilayah rendah di Belanda, yang terbentuk di hulu delta sungai Rhein dan Meuse. Dalam Bahasa Belanda wilayah ini disebut Betuwe. Mungkin itulah kenapa orang-orang yang tinggal di Batavia di sebut dengan orang Betawi.

Karena dilengkapi dengan persenjataan lengkap, kapal dagang yang ini berdimensi 48 meter ini sering dikira kapal perang oleh orang-orang. Kapal ini mampu membawa 341 penumpang dan awak kapal. Seperti kebanyakan kapal Belanda pada zaman itu, Batavia memiliki buritan tinggi, sempit, datar, dan mungkin didekorasi dengan lukisan atau ukiran yang menunjukan namanya. Buritannya rata dan lambungnya tidak dalam untuk menyesuaikan gumuk pasir yang banyak ditemui di Belanda. Potongan melintangnya berbentuk bujur sangkar untuk menampung muatan yang maksimal dengan kerangka yang panjang, ramping dan elegan. Batavia adalah sebuah kapal retourchip, yakni kapal yang harus kembali ke Belanda membawa barang-barang dagangan.

Pada tanggal 28 Oktober 1628, kapal ini berangkat dari Belanda dengan dikawal enam kapal lainnya dengan berbagai ukuran di bawah komando Francesco Pelsaert, seorang pedagang kelas atas di VOC. Batavia sendiri dinakhodai oleh Adriaen Jacobszoon yang bertanggung jawab terhadap navigasi dan awak kapal. Kedua orang ini sudah tidak akur sejak perjalanan sebelumnya. Selain dua orang yang tidak sejalan tersebut, dua karakter yang menentukan arah perjalanan Batavia di hari-hari berikutnya adalah seorang pedagang rendah yang juga seorang penjual obat bernama Jeronimus Corneliszoon dan seorang istri muda pejabat VOC yang menawan bernama Lucretia van der Mijlen, yang menumpang untuk mengunjungi suaminya di Batavia, Jawa.

Kapal Batavia membawa 180 pelaut yang tinggal di dek atas di bagian depan tiang layar utama. Selain itu terdapat 11 kadet dan satu kompi serdadu Belanda yang menghuni geladak kapal bawah. Para serdadu ini tidak bisa akur dengan para pelaut karena mereka merasa para pelaut tersebut memperlakukan para serdadu ini secara diskriminatif. Selain dua kelompok tersebut, terdapat juga 22 orang perempuan dan beberapa anak kecil, dimana sebagian dari mereka adalah istri para serdadu Belanda.

Kapal ini berjalan tanpa rute yang telah ditentukan sebelumnya oleh direktur VOC, namun satu hal yang jelas adalah Batavia dilarang berlabuh sebelum sampai di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Meskipun demikian, Komandan ekspedisi, Pelsaert mengizinkan kapal untuk berlabuh sementara di Sierra Leon di pesisir barat Afrika, dimana 10 pelaut meninggal akibat kekurangan gizi. Ketegangna di atas kapal juga semakin meningkat dan sang nakhoda, Jacobszoon, mencoba menggoda Lucretia, sang istri pegawai VOC, namun dicegah oleh Corneliszoon, sang saudagar rendah yang mulai akrab dengan sang nakhoda. Dan betul saja, Lucretia menolak rayuan Jacobszoon, ia pun mendekati pelayan Lucretia yang bernama Zwaanti Hendricx yang ternyata tergoda dengan rayuan sang nakhoda.

Pada tanggal 14 April 1629, Batavia berlabuh di Tanjung Harapan yang dikenal dengan istilah ‘kantinnya lautan’. Di sini, Jacobszoon, Corneliszoon dan Hendricx mabuk-mabukan dan mulai menunjukan perilaku yang tidak baik, yang membuatnya ditegur oleh sang komandan, Pelsaert. Karena merasa tersinggung dan sakit hati dengan teguran ini, ia dan Corneliszoon berkhayal untuk melakukan pemberontakan. Ia berpikir untuk menguasai kapal dan hidup sebagai bajak laut. Ia memulai rencananya ini dengan menyuruh salah satu anak buahnya untuk menggoda Lucretia. Namun saat melanjutkan perjalanan dan memasuki Samudera Hindia, Batavia terpisah dari kapal-kapal lainnya akibat badai yang memang sering terjadi selama bulan November sampai April. Ada dugaan bahwa kapal ini sengaja memisahkan diri agar Jacobszoon dan Corneliszoon dapat memuluskan rencana mereka.

Kapal ini diperintahkan untuk bergerak ke arah timur sebesar 36 derajat dan 42 derajat sejauh 4.800 km sebelum belok ke utara. Batavia hanya membawa empat astrolab untuk mengukur garis lintang, namun mereka tidak bisa menghitung garis bujur secara akurat. Untuk mengukur kecepatan kapal, mereka hanya berpedoman pada buih yang dihasilkan di laut yang mereka lihat di belakang buritan kapal. Pada tanggal 3-4 Juni mereka melihat adanya remang-remang daratan, namun ada yang bilang itu hanya bayangan bulan. Pada sekitar pukul 5 pagi Palsaert dikagetkan dengan hentakan yang sangat kuat yang menyebabkannya terbangun dari tidurnya. Ternyata Batavia telah terdampar di sebuah kepulauan, yang kelak akan dinamakan kepulauan Alborhos, yang terletak sekitar 65 km dari pesisir barat benua yang kelak dinamakan Australia yang berarti daratan di sebelah selatan.

Kapal Batavia rusak parah yang menyebabkan mereka harus mengevakuasi para penumpang, kru serta barang-barang bawaan lainnya. Pulau tempat mereka terdampar tidak mengandung sumber air dan akhirnya Jacobsz dan Pelsaertz dengan sebuah perahu mencoba mencari sumber air bersama 46 orang lainnya di sekitar pesisir Australia dan tidak menemukan apapun sehingga mereka menyebut daratan tersebut ‘bumi kering terkutuk’. Karena tidak dapat menemukan air, mereka melanjutkan perjalanan ke utara menuju Jawa untuk mencari bantuan di Batavia. Setelah sampai di Batavia, Jawa, sang penggoda Lucretia dihukum mati atas tindakannya yang tidak bermoral, sedangkan Jacobszoon dimasukan ke dalam penjara.

Sementara itu, di pulau Alborhos, tempat kapal Batavia terdampar, Corneliszoon yang merupakan penganut Torrentius, yang meyakini bahwa semua agama yang ada di bumi ini membelenggu manusia dari kenikmatan duniawi yang telah diciptakan oleh Tuhan, menunjukan watak buruknya yang dipengaruhi oleh keyakinannya itu. Ia mengajak para kru kapal untuk menguasai persediaan kapal dan para perempuan yang ada di pulau itu. Ia memulai rencana busuknya dengan mengirim para serdadu yang berpotensi untuk menentangnya untuk mencari sumber air tawar, padahal mereka sebenarnya dikirim agar mereka mati kehausan dan kelaparan. Saat para serdadu itu terlihat cukup jauh, Corneliszoon pun memulai aksi bejatnya dengan membunuh dan menyiksa orang-orang yang ada di pulau itu termasuk perempuan dan anak-anak. Beberapa perempuan dibiarkan tetap hidup “untuk alasan yang sangat jelas”, dimana salah satunya adalah Lucretia. Seorang pendeta bernama Gijsbert Bastiaenz menyaksikan kengerian tersebut tanpa bisa berbuat apa-apa. Istri dan hampir semua anak-anaknya telah dibunuh, kecuali putrinya yang tertua yang telah “diambil” oleh Conrad van Huyssen, salah seorang anak buah Corneliszoon.

Para prajurit yang dikirim oleh Corneliszoon dibawah pimpinan Wiebbe Hayes ternyata berhasil menemukan sumber air minum dan memberitahu Corneliszoon dengan menggunakan kode asap. Mengetahui para serdadu itu masih hidup, Corneliszoon mengirimkan anak buahnya untuk membunuh mereka. Namun, Wiebbe Hayes dan para serdadu lainnya jauh lebih unggul daripada anak buah Corneliszoon walaupun mereka tidak memiliki senjata sama sekali. Merasa geram dengan kekalahan anak buahnya, Corneliszoon berangkat sendiri bersama beberapa anak buahnya untuk menumpas Wiebbe Hayes. Terjadilah pertempuran yang sudah jelas dimenangi oleh para serdadu Belanda. Corneliszoon dan anak buahnya diikat dan di saat itu kapal bantuan, Sardam, dari Jawa muncul dari utara.

Pelsaert yang tiba di pulau tersebut langsung memberikan Corneliszoon dan para anak buahnya hukuman mati. Sebelum digantung, kedua tangan Corneliszoon dipotong terlebih dahulu. Nah diantara para pemberontak tersebut, dua orang ternyata tidak dihukum mati. Mereka adalah Jan Pelgrom de Bye Van Bemel, seorang pelaut yang berusia 18 tahun dan Wouter Loos, seorang serdadu berusia 24 tahun. Mereka ditinggal di hulu sungai Hutt dengan persediaan seadanya untuk menjelajahi daratan baru yang mereka temukan itu. Mereka diinstruksikan untuk tinggal di situ selama dua tahun dan akan dijemput dua tahun lagi. Mereka menjadi orang Eropa pertama yang mendiami Benua Australia. Pada tahun 1644, atau sekitar 15 tahun kemudian, Abel Tasman, mencari keberadaan dua orang tersebut namun mereka tidak dapat ditemukan dimanapun. Ada dugaan kalau mereka sudah mati atau mungkin menemukan kapal yang lewat dan menumpang kembali ke Eropa. Beberapa orang aborigin mengatakan mereka pernah menyaksikan orang aborigin bermata biru yang tinggal di sekitar sungai Hutt.

Sumber:
Lavery, Brian; The Conquest of the Ocean: An Illustrated History of Seafaring; DK Publishing; UK; 2013. http://museum.wa.gov.au/research/research-areas/maritime-archaeology/batavia-cape-inscription/batavia
https://historycollection.co/16-tales-of-historic-castaways-that-make-robinson-crusoe-pale-in-comparison/4/
http://www.vochistory.org.au/batavia.html

Postingan populer dari blog ini

Jalan Berliku Terbangunnya Masyarakat Di Pulau Lombok (Bag. 4)

Guru Sang Ratu: Abdul Karim, Dari Pelayan Menjadi Orang Kepercayaan Ratu Victoria

Busung Lapar di Lumbung Beras: Sebuah Ironi Berulang di Pulau Lombok

Jalan Berliku Terbangunnya Masyarakat Di Pulau Lombok (Bag. 3)

Seni Menyidik Tanpa Kekerasan Dari Veteran PD II