Langsung ke konten utama

Pulau Ascension, Saksi Bisu Seorang Pegawai VOC Penyuka Sesama Jenis, Leendert Hasenbosch.

Pulau Ascension adalah sebuah titik yang hampir tidak terlihat di atlas dunia, yang terletak di tengah Samudera Atlantik di antara Benua Afrika dan Brazil. Pulau yang sebenarnya merupakan puncak sebuah gunung api bawah laut ini menyimpan sebuah cerita terpendam tentang seorang Pegawai VOC bernama Leendert Hasenbosch yang dihukum karena ketahuan menyukai sesama jenis. Selama berabad-abad, cerita tentang Hasenbosch ini dianggap sebagai mitos belaka, sampai akhirnya kebenarannya dikonfirmasi pada tahun 2003.



Pada dasarnya Pulau Ascension adalah pulau yang tidak berpenduduk yang secara administratif merupakan teritori Kerajaan Inggris. Pemerintah Kerajaan Inggris melarang siapapun untuk mendiami pulau ini secara permanen. Sejak terjadinya Perang Dingin antara AS dengan Uni Soviet dalam bentuk perlombaan menuju luar angkasa, pulau ini dijadikan sebagai landasan pesawat ulang alik dan tempat pemantauan operasi pendaratan Apollo di bulan. Perbukitan di sekitar pulau ini dipenuhi oleh parabola dan antena, tapi apa yang didengar dan siapa yang mendengar, tidak ada yang tahu.

Pada awalnya, hampir tidak ada satu tumbuhan pun di atas permukaan pulau vulkanis ini. Mungkin mirip seperti pulau Anak Krakatau. Namun pada tahun 1843, Charles Darwin dan sahabatnya Joseph Hooker, berdiskusi bagaimana cara membuat pulau Ascension menjadi layak huni dan mereka membuat kesimpulan untuk menanam pepohonan di puncak Gunung Hijau di ketinggian 859 meter yang merupakan puncak tertinggi di pulau ini. Rencana mereka ini ternyata berhasil dimana saat ini pulau ini terlihat sedikit lebih hijau.

Pulau ini dihuni oleh orang-orang Inggris sejak tahun 1815 ketika Angkatan Laut Kerajaan Inggris berusaha menghalau orang-orang Perancis yang berusaha menyelamatkan Napoleon Bonaparte dari pengasingan di Pulau St. Helen yang terletak sekitar 1.126 km dari Pulau Ascension. Meskipun demikian, pulau ini sebenarnya telah ditemukan sekitar 80 tahun sebelumnya pada tahun 1726. Pada tanggal 6 Desember 1725, kapal James and Mary dan Compton yang masing-masing dikomandoi oleh Kapten John Balchen dan Kapten Wiliam Morson, berangkat dari Tanjung Harapan menuju Inggris. Pada tanggal 20 Januari, Kapten John Balchen menulis dalam diari kapal bahwa mereka berlabuh di sebuah pulau berpasir dan menemukan sebuah tenda dengan tempat tidur dan beberapa buku harian yang ditulis oleh orang Belanda, pegawai VOC, yang dibuang di pulau tersebut sebagai hukuman akibat melakukan tindak sodomi. Buku harian tersebut dibawa ke Inggris untuk diterjemahkan.

Setelah penerjemahan buku harian ini, ada tiga buah buku yang diterbitkan yang menceritakan kisah orang Belanda tersebut. Meskipun demikian, buku harian aslinya justru hilang. Hilangnya buku harian yang asli ini membuat banyak dugaan yang menyatakan bahwa cerita ini adalah hasil karangan belaka. Misteri identitas penulis buku harian ini menjadi misteri dan simpang siur selama berabad-abad lamanya sampai akhirnya pada tahun 2002, seorang sejarawan Belanda bernama Michiel Koolbergen berhasil mengidentifikasi sosok pegawai VOC ini yang bernama Leendert Hasenbosch.

Kisah Hidup Leendert
Pada usia 18 tahun, Leendert dikirim ke Batavia dengan kapal VOC yang bernama Corssloot yang berlayar pada tanggal 17 Januari 1714 dimana ia mendapatkan gaji sebesar sembilan gulden per bulan. Ia merupakan bagian dari sebuah kelompok yang terdiri dari 28 pegawai baru dan tiba di Batavia pada tanggal 31 Agustus di tahun yang sama. Ia lalu ditugaskan sebagai centeng di Kastil Batavia.

Kehidupan sebagai pegawai VOC sangat membosankan dan sering kali terdiri dari latihan, baris-berbaris dan patroli yang menjemukan selama enam hari per minggu, dengan satu malam libur dimana serdadu yang belum menikah dapat meninggalkan barak. Meskipun demikian Leendert termasuk lumayan beruntung karena ayahnya dan ketiga saudara perempuannya juga pindah untuk tinggal di Batavia setelah ibundanya, Maria van Bergende, meninggal beberapa tahun sebelumnya. Ayahnya, Johannes Hasenbosch, adalah seorang seorang sexton (pengurus gereja) di sebuah gereja kecil dan ketiga saudarinya telah menikah. Catatan yang ada menyebutkan bahwa keluarga tersebut kadang kala berkumpul dalam acara keluarga tertentu seperti saat pembaptisan anak Maria Elizabeth (kemungkinan nama salah satu saudara perempuannya) dimana ayahnya dan kakak tertuanya, Cornelia, disebutkan sebagai saksi.

Satu tahun setelah kedatangannya di Batavia, Leendert dikirim ke Fort Cochin di Pesisir Malabar, untuk memerangi pemimpin Kalkuta yang bernama Zamorin dimana pasukannya telah melancarkan serangan terhadap negara Couchin, sebuah negara sekutu Belanda. Pada Januari 1715, pasukan Zamorin menyerbu benteng Belanda di Chetway, di sebalah utara Cochin dan meluluhlantakannya. Belanda melakukan beberapa serangan balik untuk merebut Chetway kembali namun tetap menemui kegagalan. Berdasarkan buku panduan Malabar karya William Logan, Belanda tidak terima atas penghinaan ini dan Kanselir Willem Bakker Jacobtz membawa serta 4000 serdadu Eropa dan lokal untuk mengalahkan Zamorin pada Januari 1717. Untuk melakukan misi ini, Belanda memindahkan serdadunya dalam jumlah besar dari Batavia ke Cochin, termasuk Leendert, dimana ini adalah pengalaman pertamanya dalam pertempuran militer.

Leendert lanjut tinggal di Cochin selama hampir lima tahun. Benteng Belanda di Cochin adalah sebuah benteng berukuran kecil yang dimanfaatkan dalam perdagangan lada dan rempah-rempah lainnya. “Bisnis sampingan” kerap kali ditemui di benteng terpencil ini, yang sebagian besar dilakukan oleh para serdadu Eropa untuk memperoleh keuntungan pribadi. Tidak ada catatan apakah Leendert ikut berbisnis juga atau tidak. Namun pada bulan Juni 1718, ia membuat sumbangan yang sangat banyak dimana hampir seluruh gajinya sebesar 75 gulden 5 sen dan 3 token ia serahkan untuk pembangunan Lazarus House bagi penderita kusta. Apa yang menyebabkan ia mendonasikan dua pertiga dari seluruh gajinya tidak ada yang tahu. Saat pembangunan rumah bagi penderita kusta ini rampung sepuluh tahun kemudian, Leendert telah meninggal dan hanya mewariskan catatan harian kecilnya.

Kembali ke Batavia pada bulan Agustus 1720, Leendert menerima promosi pertamanya sebagai petugas militer, yakni sebagai penata buku di VOC, dengan gaji sebesar 16 gulden per bulan, dan ditempatkan di Utrecht Gate (Gerbang Utrecht) di kastil Batavia. Ayahnya dan dua saudara perempuannya masih tinggal di Batavia, tapi saudari termudanya telah menjanda dan menikah lagi di Belanda. Cornelia, yang tertua, juga telah kehilangan suaminya dan telah menikah lagi. Pembaptisan anaknya yang kedua diadakan pada 5 November 1722 dan seluruh keluarga menghadiri acara tersebut dimana ayahnya dan saudarainya Ursula bertindak sebagai saksi.

Pada tahun itu sesuatu yang tidak biasa terjadi pada Leendert. Dia meninggalkan negaranya selama tujuh tahun dimana ia menghabiskan sebagian besar waktunya di Pesisir Malabar. Namun, pada suatu hari muncullah seseorang dari Belanda yang bernama Jan Backer yang mengaku bahwa Leendert berhutang padanya. Tidak ada yang tahu bagaimana Leendert berhutang pada Jan Becker, namun Leendert mengirimkan tabungannya sebesar 287 gulden, 2 sen dan 4 token kepada Jan Becker melalui dua orang yang bertindak sebagai perwakilan.

Pada tahun berikutnya, pada bulan Juli 1723, Johannes Hasenbosch, ayahnya Leendert meninggal pada usia 50 atau 51 tahun. Sejak ayahnya meninggal, Leendert membuat rencana untuk pulang kembali ke Belanda untuk memulai hidup baru dan bahkan mungkin berencana untuk menikah dan membangun sebuah keluarga.

Pada Oktober 1724, Leendert bekerja sebagai penata buku di kapal Prattenburg yang berlayar menuju Belanda pada tanggal 1 Desember. Prattenburg adalah bagian dari armada yang yang pimpinan komodor Ewout van Dishoeck. Pada saat itu penata buku resmi bergaji 22 gulden, sedangkan Leendert hanya menerima gaji 16 gulden. Sayangnya, perjalanan pulang ini mengalami masalah dimana terjadi penyakit menular yang membunuh dua puluh kru kapal dan serdadu yang berdesak-desakan di dek kapal. Leendert yang merupakan seorang pegawai tinggal di belakang dek dengan cukup nyaman dan terhindar dari penyakit ini.

Prattneburg mencapai Cape Town pada tanggal 19 Maret 1725 untuk tinggal selama beberapa minggu untuk mengisi ulang persediaan, melakukan perbaikan dan memberikan waktu bagi kru kapal dan pegawai VOC untuk beristirahat. Prattenburg melanjutkan perjalanannya pada tanggal 11 April dan armadanya semakin ramai karena ada kapal tambahan yang ikut serta. Apa yang terjadi dari tanggal 11 sampai 17 April tidak tercatat dan tidak jelas, namun pada tanggal 17 April komodor armada dan para kapten melakukan rapat dan menyatakan bahwa Leendert dinyatakan bersalah karena melakukan tindakan sodomi.

Sodomi adalah salah satu dosa paling buruk pada masa itu bagi sebagian besar penganut Kristen di Eropa. Seluruh tindakan homoseksualitas dikatakan sebagai sodomi dan harus dihukum, biasanya dengan hukuman mati. Para penganut Kristen Calvinis di Belanda lebih ketat dalam menghukum homoseksualitas dibandingkan dengan daerah lainnya di Eropa pada saat itu. Pengadilan di Cape Town mencatat terdapat 44 kasus sodomi yang terjadi di kapal-kapal VOC dari 1700 sampai 1794 yang melibatkan 150 orang. Pada tahun 1730, parlemen Belanda meloloskan undang-undang yang yang lebih ketat yang mewajibkan para hakim untuk menjatuhi hukuman mati bagi pelaku sodomi. Dalam dua tahun, 300 orang di dituntut atas tuduhan sodomi di seluruh provinsi di Belanda dan 75 diantaranya dijatuhi hukuman mati. Kapal-kapal VOC sangat waspada terhadap dosa yang satu ini dan apabila ada pelaku sodomi yang tertangkap saat melakukan perbuatannya, maka pelakunya akan dibuang ke laut. Reynier Aedriaansen mencatat sebuah pengadilan di kapal VOC yang menindak pelaku sodomi pada tahun 1680.

Dua orang dibawa ke pengadilan kapal, dituduh melakukan dosa sodomi, keduanya diikat dengan rantai saling tumpuk di dek kotoran selama lima tahun. Saat mereka disidang, mereka dimasukkan ke dalam satu karung lalu dibuang ke laut hidup-hidup.

Leendart bisa lolos dari hukuman dibuang ke laut ini, karena ia seorang pegawai VOC, namun pasangannya sepertinya menghadapi hukuman mati dan dibuang ke laut. Meskipun demikian, berdasarkan catatan hariannya, ia menjelaskan bahwa ia dibiarkan, ditinggalkan untuk hidup sendiri di Pulau Ascension.

Catatan harian Leendert dimulai pada hari Sabtu pada tanggal 5 Mei 1725. Ia menuliskan: “Berdasakan atas perintah Komodor dan para Kapten armada Belanda, saya ditinggalkan di Pulau Ascension, yang membuat saya sangat kecewa, namun saya berharap Tuhan Yang Maha Esa akan menjadi pelindungku. Mereka meninggalkan saya tong air, dua ember, dan dan panci penggorengan tua. Saya membuat tenda saya di pantai dekat sebuah Batu, di mana saya meletakkan beberapa pakaian saya.”

Hari berikutnya Leendert pergi ke atas bukit untuk mengamati tempat itu, mencoba menemukan sesuatu yang berguna untuk kelangsungan hidupnya tetapi tidak menemukan sesuatu yang hijau. Dia lalu jatuh dalam keputusasaan: "Saya dengan tulus berharap bahwa suatu kecelakaan akan menimpa saya, untuk menyelesaikan hari-hari yang menyedihkan ini." Dalam buku hariannya, Leendert berulang kali menggambarkan suasana hatinya yang melankolis dan keinginan kematian yang merasukinya sejak awal penderitaannya. Namun, dia menemukan beberapa burung yang bergerak lambat yang disebut boobies, dimana ia berhasil membunuh tiga diantaranya dan mengasinkannya untuk dimakan. Ia bertahan hidup dengan memakan daging burung-burung ini dan kura-kura yang ia temukan di pantai di pulau itu. Pada hari ketiga, ia mencoba membawa tong air yang ia tinggalkan di pantai ke tendanya. Dia terpeleset, dan tong itu terbalik, kehilangan banyak air - kehilangan yang mengerikan karena pulau itu memiliki sumber air yang sangat sedikit.

Leendert telah mendengar tentang beberapa pelaut yang terdampar di pulau itu setelah kapal karam dan bertahan di sana selama beberapa bulan. Dan memang betul bahwa William Dampier dan para pelaut di kapal Inggris Roebuck telah menghabiskan enam minggu di sana sebelum mereka diselamatkan. Dia menghabiskan hari-harinya menaiki bukit mencari tanda-tanda kapal, tetapi selalu kecewa. Dia menyimpan seekor boobie sebagai hewan peliharaan di tendanya namun dalam beberapa hari burung itu mati. Dia mencoba menanam beberapa bawang dan kacang polong untuk dikonsumsi di masa depan, tetapi kemudian tanamannya tersebut dimakan oleh tikus. Ia tetap mencari air tawar namun tidak berhasil menemukannya, dan menghabiskan sebagian besar waktunya membaca Alkitab, berdoa dan berputus asa tentang kemalangan yang ia alami. Suatu hari saat kembali ke tendanya, ia melihat asap keluar dari dalam tendanya. Dia telah lupa memindahkan sebuah sumbu di atas selimutnya dan sepertinya angin kencang menyalakan api dan membakarnya. Untungnya, dia bisa memadamkannya sebelum semua tendanya terbakar.

Leendert hanya memiliki sedikit air dan semua pencariannya untuk menemukan air di pulau itu ternyata tidak membuahkan hasil. Pada pertengahan Juni, dia bahkan belum memiliki satu tetes pun yang tersisa. Dalam keputusasaannya, ia mulai menggali air tetapi tidak menemukannya. Kemudian dia melihat beberapa kambing di lembah dan membuntuti mereka, dia datang ke sumber air menetes di bebatuan di bagian lain pulau. Tetapi ketika musim panas memuncak, sumber air itu mengering. Mengikuti kambing-kambing itu setiap hari, kadang-kadang ia menemukan sedikit air terperangkap di bebatuan di beberapa bagian pulau ini. Saat itulah ia mulai melihat hantu dan penampakan.

"Di malam hari aku dikejutkan oleh suara di sekitar tendaku yang mengutuk dan berkata kasar, dan merupakan penistaan paling parah yang pernah saya dengar ... Kekhawatiran saya begitu besar, sehingga saya pikir saya seharusnya mati dalam ketakutan ... siapa pun akan percaya bahwa Iblis telah memindahkan tempat tinggalnya untuk tinggal di pulau ini."

Beberapa dari suara-suara ini tampaknya tidak asing, dan dia yakin bahwa salah satu suara itu berasal dari “seorang kenalan akrab saya; dan saya benar-benar berpikir bahwa kadang-kadang saya merasa disentuh oleh roh yang tidak tampak”. Sekitar jam tiga pagi ketika suara-suara berhenti menyiksanya, Leendert mulai berdoa, dia kembali mendengar suara tangisan.

Malam berikutnya, tidak ada suara-suara aneh, sebaliknya dia melihat penampakan yang mirip dengan seorang pria “yang aku kenal betul, dia bercakap-cakap denganku seperti manusia nyata, dan menyentuhku dengan begitu nyata dan mengingatkanku akan dosa-dosaku di masa lalu". Lelaki itu adalah seorang prajurit yang ia kenal di Batavia. “Kami bersama-sama seperti layaknya dua saudara laki-laki,” tulisnya dalam buku harian itu. Dalam beberapa hari berikutnya penampakan itu mengunjungi berkali-kali: "Dia begitu sering menghantui saya, sehingga saya mulai terbiasa dengannya." Leendert sangat terganggu oleh kunjungan-kunjungan aneh ini di malam hari sehingga dia mencoba untuk menjaga tendanya tetap terang sepanjang malam, tetapi cawan lampunya pecah. Dia disiksa oleh rasa bersalah: "Saya harap hukuman saya di dunia ini cukup untuk kejahatan saya yang nista karena memanfaatkan sesama makhluk untuk memuaskan nafsu seks saya."

Pada akhir Agustus, musim panas tiba lebih awal sehingga Leendert benar-benar tidak bisa menemukan setetes air pun di pulau tersebut. Ia mulai meminum darah penyu dan burung boobie dan bahkan mencoba membuat teh dengan air seninya sendiri. Pada 31 Agustus ia menulis: “Saya berjalan, atau mungkin lebih tepatnya merangkak karena saya tidak bisa berjalan lebih dari tiga langkah”.

Ia lalu melihat seekor kura-kura: “ Aku potong kepalanya dengan pisau cukurku dan menghisap darahnya sampai habis. Saya membawa beberapa telurnya pulang dan menggorengnya, lalu setelah itu aku meminum air seni rebus yang dicampur dengan teh, meskipun rasanya menjijikan, tapi cukup menyebarkan untukku.” Setelah itu ia menjadi sangat lemah dan bahkan tidak mampu untuk membunuh seekor peny. “Aku sudah mulai membusuk, dan hampir menjadi kerangka, aku sudah tidak bisa menulis dengan baik karena tanganku bergetar.” Namun ia tetap menulis buku hariannya dengan satu atau dua kata atau ‘ditto’, dan pada tanggal 7 Oktober ia menulis: “Seluruh kayu bakarku habis, jadi saya harus memakan daging mentah dan burung asin. Saya tidak mampu bertahan lebih lama dan saya berharap Tuhan mengampuni jiwaku.” Kemudian tulisan terakhirnya pada tanggal 14 Oktober adalah “ditto”.

Leendert mungkin telah meninggal pada hari itu atau sehari setelahnya. Tetapi baik kru James and Mary atau pun Compton yang menemukan buku hariannya tiga bulan kemudian dapat menemukan mayatnya. Mungkinkah dengan sisa tenaganya ia menyeret dirinya ke lautan luas untuk membersihkan dirinya dari kesedihan dan 'dosa'? Tidak ada yang tahu.

Sumber
https://www.himalmag.com/hell-ascension/
https://www.bbc.com/news/magazine-36076411

Postingan populer dari blog ini

Jalan Berliku Terbangunnya Masyarakat Di Pulau Lombok (Bag. 4)

Guru Sang Ratu: Abdul Karim, Dari Pelayan Menjadi Orang Kepercayaan Ratu Victoria

Busung Lapar di Lumbung Beras: Sebuah Ironi Berulang di Pulau Lombok

Jalan Berliku Terbangunnya Masyarakat Di Pulau Lombok (Bag. 3)

Seni Menyidik Tanpa Kekerasan Dari Veteran PD II