Langsung ke konten utama

Pemberontakan Emak-emak di Nigeria Tahun 1929

Kita sering mendengar istilah The Power of Emak-emak akhir-akhir ini. Ada yang menggunakannya secara ‘negatif’, sebagai contoh ketika emak-emak naik motor sein ke kiri tapi belok ke kanan, dan ada juga yang menggunakannya secara ‘positif’ dalam meraup dukungan politik. Nah, pada tahun 1929, ribuan perempuan yang mayoritas emak-emak melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Inggris di Nigeria. Kenapa? Kenapa emak-emak?



Di Nigeria bagian tenggara, di provinsi yang dinamakan Calabar dan Owerri, hiduplah suku Igbo yang menghuni daerah yang dikenal dengan nama Igboland. Pada tahun 1929 mereka melakukan perlawanan karena merasa kesal terhadap penindasan pemerintah kolonial. Perlawanan yang berujung pada pemberontakan tersebut dikenal dengan istilah Women’s War 1929. Ahli sejarah kolonial menyebutnya sebagai kerusuhan, namun apapun namanya, kebangkitan yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini memiliki dampak yang luas dan membuat pemerintah kolonial kewalahan. Selama kekacauan ini, 16 pengadilan lokal diserang dan toko-toko milik orang Eropa dijarah. Sebanyak 55 perempuan Igbo tewas dan 50 lainnya terluka serius.

Penyebab pemberontakan
Pemberontakan selama dua bulan ini disebabkan oleh serangkaian kejadian yang dimulai dengan kebijakan pemerintah Inggris untuk menarik kebijakan pemerintahan langsung mereka, dan menyerahkan kekuasaan kepada Warrant Chief, yakni orang Afrika asli yang ditunjuk oleh pemerintah Inggris sebagai kepala daerah, dimana sebagian besar yang ditunjuk adalah kepala suku Igbo dan keluarganya. Setelah bertahun-tahun, para kepala daerah yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial ini menyalahgunakan kekuasaan mereka, melecehkan perempuan, dan menyita hewan ternak serta tanah demi kepentingan pribadi mereka. Sebenarnya, perempuan sangat dihormati dalam suku Igbo sejak zaman dahulu kala dimana mereka memegang peranan penting dalam politik suku Igbo, namun para kepala daerah ini mengganjal para perempuan agar tidak terjun ke dunia pemerintahan. Kekecewaan para perempuan ini ditambah lagi dengan kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. Di bawah pemerintahan kolonial Inggris, perekonomian di Igobland mengalami peningkatan dari penjualan minyak sawit, namun ketika harga minyak sawit terjun bebas pada tahun 1929, para perempuan suku Igbo menghadapi beban hidup yang berat dimana besaran pajak yang ditarik oleh pemerintah kolonial masih sama seperti saat harga minyak tinggi. Selain itu, biaya pendidikan juga tetap tinggi ditambah lagi dengan diberlakukannya pajak bagi para perempuan Igbo (sebelumnya pajak hanya dikenakan kepada para laki-laki).
Revolusi ini dipicu oleh sebuah keributan di desa Oloko antara seorang perempuan bernama Nwanyereuwa dengan seorang petugas sensus bernama Mark Emereuwa yang melakukan penghitungan jumlah istri, anak dan hewan ternak yang dimiliki setiap rumah tangga untuk keperluan pajak. Saat ia ditanyakan mengenai informasi tersebut, Nwanyereuwa naik pitam. Ia menuliskan ajakan kepada seluruh perempuan untuk melakukan pemberontakan di atas daun kelapa yang disebarkan ke penjuru desa dan daerah sekitarnya. Akhirnya sebanyak 10.000 lebih perempuan berkumpul melakukan demonstrasi untuk mencopot kepala daerah. Pada awalnya, mereka melakukan aksi damai dengan duduk bersama dan melakukan tarian perang terhadap laki-laki dengan mendendangkan nyanyian yang mengejek kaum pria. Para perempuan tersebut juga meruntuhkan atap-atap bangunan perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh orang Eropa. Desa-desa di provinsi Calabar dan Owerri mengikuti contoh yang dilakukan di desa Oloko dan bukan hanya dilakukan oleh perempuan suku Igbo, melainkan juga dilakukan oleh perempuan-perempuan suku Ibibio, Andoni, Orgoni, Bonny, dan Opobo. Hal ini membuat pemerintah kolonial Inggris geram dan mengirimkan pasukan untuk menembak para perempuan tersebut namun mereka bergeming. Akhirnya pemerintah kolonial mengalah. Mereka mencopot para kepala daerah tersebut, menghapuskan pajak bagi perempuan dan melakukan restrukturisasi administrasi dimana para perempuan Igbo memperoleh posisi mereka kembali dalam dunia politik dan suku Igbo mendapatkan otonomi khusus.


Sumber
DK Publishing, Woman Our History, UK, 2019.

Postingan populer dari blog ini

Busung Lapar di Lumbung Beras: Sebuah Ironi Berulang di Pulau Lombok

Guru Sang Ratu: Abdul Karim, Dari Pelayan Menjadi Orang Kepercayaan Ratu Victoria

Jalan Berliku Terbangunnya Masyarakat Di Pulau Lombok (Bag. 4)

Jalan Berliku Terbangunnya Masyarakat Di Pulau Lombok (Bag. 3)

Seni Menyidik Tanpa Kekerasan Dari Veteran PD II