Langsung ke konten utama

Jalan Berliku Terbangunnya Masyarakat Di Pulau Lombok (Bag. 3)

Pada tahun 1843 Belanda mulai melirik Lombok untuk memperluas daerah monopolinya. Pada tahun yang sama Belanda melakukan perjanjian dengan Kerajaan Karangasem agar mengusir bangsa kulit putih selain Belanda yang melakukan transaksi perdagangan di Lombok. Saat itu Karangasem melakukan berdagangan komoditas pertanian dari Lombok dengan Inggris dan Denmark. Sebagai imbalannya Kerajaan Karangasem meminta perlindungan terhadap kapal dagang mereka, serta meminta Belanda untuk tidak mencampuri urusan administrasi di Lombok.

Lihat juga bagian ke 1, ke 2 dan ke 4.
Masuknya Kekuasaan Karangasem
Sejak masuknya Islam, muncul beberapa pusat kebudayaan di Lombok, yang sebagian berkembang menjadi kerajaan, diantaranya adalah Bayan dan Sembalun di utara, Selaparang di timur, Purwadadi dan Sakra di Tenggara dan Pejanggik (atau Praya) di daerah tengah bagian selatan. Pusat-pusat kebudayaan tersebut seluruhnya telah beragama Islam. Meskipun terdapat beberapa pusat kebudayaan tersebut, namun kekuatan politik saat itu terpusat di Selaparang dan Pejanggik. Sejak awal abad ke 17 Lombok telah menjadi perebutan kerajaan-kerajaan besar disekitarnya. Perebutan tersebut terjadi antara Kerajaan Gelgel dari Bali dengan Kerajaan Gowa dari Makassar yang dibantu oleh Kerajaan Sumbawa yang berada di bawah pengaruh Gowa. Pada tahun 1603 Lombok dapat dikuasai oleh Gelgel, namun pada tahun 1640 Lombok direbut oleh Gowa.
Pada tahun 1723 Raja Selaparang meminta bantuan Karangasem, Bali untuk menghadapi serangan dari Sumbawa. Pada Babad Lombok juga diceritakan bahwa seorang patih bernama Banjar Getas melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Selaparang dengan dibantu oleh Kerajaan Karangasem, karena sakit hati istrinya direbut oleh Raja Selaparang. Pada tahun 1740 Raja Pejanggik yang kemudian menjadi Praya juga meminta bantuan Karangasem, Bali, yakni Ratu Gede Ngurah, dari usaha kudeta yang ingin dilakukan oleh seorang pangeran. Karena sering meminta bantuan Kerajaan Karangasem, akhirnya sejak saat itu Lombok berada dibawah pengawasan Kerajaan Karangasem. Lambat laun akhirnya kerajaan-kerajaan Sasak yang ada di Lombok dipaksa untuk mengakui kekuasaan Karangasem serta dimintai upeti. Untuk memperkuat kekuasaannya atas Lombok, Kerajaan Karangasem melakukan pendekatan-pendekatan kultural, diantaranya dengan mendukung kepercayaan waktu telu yang lebih toleran terhadap orang non muslim (Hindu) dibandingkan dengan waktu lima. Selaparang yang tidak setuju dengan intervensi Karangasem ini kemudian memilih untuk mendekat ke Kerajaan Sumbawa di masa pemerintahan Sultan Muhammad Kaharuddin II (1795-1816).
Pada tanggal 5 April 1815, Gunung Tambora di Dompu, Sumbawa, meletus dan memuntahkan debu vulkanik dalam jumlah yang sangat masif. Abu Gunung Tambora ini menutupi hampir seluruh atmosfir bumi termasuk Eropa. Debu Gunung Tambora ini bertahan di atmosfir sampai tahun 1816, sehingga tahun 1816 dikenal dengan istilah “the year without a summer” oleh orang Eropa. Pulau Lombok yang bertetangga dengan Sumbawa juga tidak dapat terhindari dari bencana vulkanis ini. Berdasarkan catatan Crawfurd yang ditulis pada tahun 1856:
“Rasanya sangat menderita pada waktu itu dan dalam jangka waktu yang lama setelahnya; ketebalan debu (vulkanis red.) yang turun bervariasi [...] dengan kedalaman mulai dari satu hingga dua kaki. Bencana ini tidak hanya menghancurkan tanaman pertanian, namun dalam beberapa tahun lamanya (masyarakat) tidak dapat menanam jagung, dan akibatnya terjadi kelaparan, penyakit dan pengurangan penduduk dalam jumlah yang banyak.” (Crawfurd, 1856 dalam Marrison, 1999)
Pada tahun 1826 M terjadi pemberontakan Raden Suryajaya dan Komaladewa Mas Panji bersama rakyat Sakra terhadap Kerajaan Karangasem yang berkuasa. Namun pemberontakan ini dapat dipadamkan, dimana masjid besar Sakra dibakar, Raden Suryajaya dibunuh dan Komaladewa Mas Panji bersama keluarganya ditahan di Cakranegara. Pemberontakan ini tampaknya disebabkan oleh dua hal yang berkaitan, yakni:
  1. Penderitaan yang dialami oleh masyarakat Sasak akibat bencana abu vulkanis dari Gunung Tambora yang meletus pada tahun 1815.
  2. Masyarakat Sasak yang sedang menderita merasa tidak diperhatikan oleh Kerajaan Karangasem (yang mungkin saat itu juga sedang kesulitan akibat bencana abu vulkanis) dan bahkan mungkin tetap menarik upeti dari kerajaan-kerajaan Sasak di Lombok.
Runtuhnya Kekuasaan Karangasem
Pada tahun 1838-1839 terjadi perebutan kekuasaan wilayah Kerajaan Karangasem yang ada di Lombok. Perebutan kekuasaan tersebut akhirnya menempatkan Raja I Gusti Ngurah Ketut Karangasem berhasil berkuasa pada usia yang masih muda, dan mengalihkan pusat kerajaan dari Kembangkerang ke Mataram. Di tahun yang sama tiga orang Sasak yang baru pulang berhaji dihukum mati oleh kerajaan, mereka difitna telah melakukan pencurian. Hal ini menyebabkan pecahnya pemberontakan di Praya yang menyebabkan kekalahan telak orang Sasak. Mereka dipaksa untuk melucuti senjata-senjata mereka (tombak, pedang, keris, parang dll), dan orang Sasak dilarang untuk mengunjungi masjid. Namun kebijakan ini kemudian diperlonggar atas desakan salah satu istri sang raja yang berasal dari orang Sasak dan atas desakan asisten dan penasihat perdagangan luar negeri kerajaan, yakni seorang arab yang bernama Said Abdullah.


Para prajurit Sasak tempo dulu.

Tidak tahan dengan tekanan ini, pada tahun 1856 sebanyak empat ratus keluarga dari Lombok mengungsi ke Sumbawa. Dari tahun ke tahun pemberontakan yang dilakukan oleh orang Sasak semakin intensif, yang terbesar adalah pada tahun 1871 dan 1884 yang terjadi di Praya. Puncak dari semua ini adalah dimulai pada tahun 1891 M. Paad saat itu Puri Mengwi meminta bantuan Karangasem untuk merebut sebagian Gianyar yang saat itu dikuasai oleh Klungkung. Karangasem meminta untuk dikirimkan tambahan 500 prajurit Sasak dari Lombok, namun kapal mereka dihadang oleh pasukan dari Klungkung. Para prajurit tersebut terlunta-lunta dan kekurangan makanan sehingga terlalu lemah untuk berperang, dan nasib mereka pun tidak jelas. Raja meminta bantuan lagi dari orang Sasak, namun orang Sasak telah lelah dengan sikap kerajaan yang represif lalu melakukan pemberontakan di Praya dibawah pimpinan Tuanguru Bangkol. Mereka berhasil merangsek hingga ke Kediri, Lombok Barat, namun kemudian datang bantuan dari Karangasem, Bali sebanyak 1.500 orang, dan akhirnya berhasil mematahkan pemberontakan dan menahan 300 orang Sasak.
Akhirnya pada tanggal 7 Jumadilawal 1309 H yang bertepatan dengan 9 Desember 1891, tujuh pemimpin Sasak berkumpul di Kopang, Lombok Tengah untuk merumuskan surat yang ditujukan pada Residen Belanda di Bali. Mereka adalah Jero Mamik Mustiayaji dari Kopang, Raden Ratmawa dari Rarang, Mamik Bangkol dari Praya, Raden Wiraanom dari Pringgabaya, Mamik Mursasi dari Sakra, Raden Melaya dari Masbagik, dan Jero Ginawang dari Batu Kliang. Mereka menyampaikan keluhan terkait upeti, kerja paksa, perampasan harta, perbudakan, pelecehan terhadap perempuan, dan pembunuhan terahadap orang Sasak yang tidak mau membantu melawan pemberontakan. Para pemimpin sasak ini meminta bantuan Belanda. Akhirnya pda tahun 1893 Belanda mengirim pasukan KNIL dari Jawa (Semarang) dibawah pimpinan Jendral J.A. Vetter dan P.P.H. van Ham yang mendarat di Ampenan. Pasukan belanda ini berhasil dikalahkan, dimana Jenderal van Ham tewas. Akhirnya Belanda mengirimkan kekuatan kedua yang lebih besar dan berhasil meraih kemenangan. Raja Ratu Agung Gede Ngurah Karangasem menyerah dan diasingkan oleh Belanda ke Batavia. Namun para pangeran tidak mau menyerah dan melakukan puputan (perang sampai mati) di Puri Cakranegara, dimana banyak anak-anak serta perempuan yang mati di bunuh oleh tentara Kolonial Hindia Belanda dalam puputan itu. Akhirnya kekuasaan Karangasem di Lombok berakhir dan digantikan oleh kolonial Hindia Belanda pada tahun 1894 M.
Jendral Mayor PPH van Ham yang tewas dalam intervensi pertama Belanda ke Mataram (1894).
Anak Agung Ketut Karangasem, General-Major PPH van Ham, General-Major JA Vetter, Residen MC Dannenbargh dan Gusti Jelantik saat melakukan negosiasi (1894).
Gambar pasukan KNIL yang berangkat dari Semarang menuju Lombok tahun 1894 (oleh J.P. Schomake).
Pasukan KNIL saat mendarat di Pantai Ampenan.
Pasukan KNIL saat akan menyerbu Puri Pagesangan.
Puri Pagesangan yang luluh lantah akibat serbuan KNIL.

Anak Agung Ketut (1894).
 
Perang Cakranegara karya J. Hoynock van Papendrecht dan J.B. Wolters.

Raja Ratu Agung Gede Ngurah Karangasem saat berada di pengasiangan di Batavia.
Sampai saat ini peninggalan zaman keemasan Kerajaan Karangasem di Lombok Barat dan Mataram masih terjaga dengan baik, diantaranya adalah Pura Meru, Pura Lingsar, Taman Mayura dan Taman Narmada. Menurut catatan para pengunjung dari Eropa pada saat itu, mereka kagum dengan keindahan tata kota Mataram dan Cakranegara. Mereka bahkan hampir tidak percaya kalau yang mengembangkan kota tersebut adalah bukan orang Eropa, dimana disepanjang jalan diterangi dengan lentera serta terdapat air mancur yang bisa dimanfaatkan untuk air minum oleh para pejalan kaki.
Taman Narmada Tahun 1920.
Taman Mayura tahun 1894.

Sumber Gambar: Tropenmuseum

Postingan populer dari blog ini

Busung Lapar di Lumbung Beras: Sebuah Ironi Berulang di Pulau Lombok

Guru Sang Ratu: Abdul Karim, Dari Pelayan Menjadi Orang Kepercayaan Ratu Victoria

Jalan Berliku Terbangunnya Masyarakat Di Pulau Lombok (Bag. 4)

Seni Menyidik Tanpa Kekerasan Dari Veteran PD II